Press ESC to close

Dari Kemampuan Analisa Kritis yang Rendah Hingga Kendala Bahasa: Tantangan Publikasi Ilmiah Para Peneliti Indonesia

Peneliti Indonesia perlu meningkatkan ketrampilan analisa kritis temuan penelitian dan kemampuan penulisan agar ada ruang yang lebih besar bagi publikasi karya mereka di jurnal-jurnal internasional.  

Hingga kini, kemampuan analisa dan penulisan temuan penelitian yang rendah masih menjadi kendala kesuksesan para peneliti Indonesia menghasilkan karya ilmiah yang berkualitas. Tidak banyak ilmuwan Indonesia mendapati karya penelitian mereka berhasil terpublikasi di jurnal ilmiah papan atas (top tier publisher). 

Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Dr. Handrini Ardiyanti, S.Sos., M.Si mengatakan banyak ilmuwan Indonesia menulis karya ilmiah jauh di bawah standar sehingga publikasi hasil penelitian mereka di jurnal ilmiah papan atas menjadi terkendala.  

Budaya diskusi belum terbangun secara optimal di kalangan akademisi dan peneliti sehingga pemahaman mereka akan berbagai isu global jauh tertinggal, ia menegaskan.  

“Saya beberapa kali me-review karya ilmiah teman-teman peneliti Indonesia dan masalah terbesar yang saya temukan, mereka tampaknya tidak mampu mengangkat isu yang disajikan dalam penelitian mereka menjadi isu global. Akibatnya, karya mereka tidak laku ‘dijual’ karena perspektif isu yang diteliti masih terlalu lokal sifatnya,” ungkap Handrini dalam sebuah perbincangan di Jakarta pada 20 September 2024.  

Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Esa Unggul tersebut lebih jauh mengatakan ketidakmampuan memperluas konteks penelitian dari yang semula lokal menjadi global merupakan problem yang rata-rata dihadapi peneliti Indonesia.  

“Bagaimana mengaitkan peristiwa lokal dengan isu global, itu yang sering menjadi kendala bagi para peneliti kita. Dan, ketidakmampuan peneliti kita melayani audiens di tingkat global dengan artikel-artikel yang berbasis data lokal masih menjadi masalah yang sejauh ini belum terselesaikan,” ungkap Handrini.  

Ketrampilan menulis—khususnya dalam Bahasa Inggris—yang rendah memperbesar kendala publikasi karya ilmiah di jurnal bertaraf internasional, ia menambahkan. 

Peningkatan publikasi ilmiah 

Iklim akademik yang semakin kondusif beberapa dekade terakhir sebenarnya diakui sejumlah kalangan telah berhasil mendorong publikasi karya ilmiah para peneliti Indonesia.  

Deputi Bidang Fasilitasi Riset dan Inovasi BRIN Agus Haryono mengatakan Indonesia kini berada di peringkat ke-19 dalam jumlah publikasi ilmiah dan ini merupakan prestasi tertinggi dalam 24 tahun terakhir.  

Ia menyampaikan capaian tersebut dalam peluncuran skema riset bersama Australia-Indonesia di Kantor BRIN, Jakarta, pada 21 Juni 2024. 

“Jumlah publikasi Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. Kita tentu belajar dari Australia yang sangat stabil di top 10 dunia [untuk publikasi di jurnal internasional],” kata Agus sebagaimana dikutip Tempo.co

Diwakili oleh BRIN, Indonesia kini bekerjasama dengan Australia untuk pendanaan riset biodiversitas kelautan berkelanjutan.  

“Kolaborasi Indonesia dan Australia diharapkan bisa meningkatkan kuantitas dan kualitas produktivitas sains yang ada di Indonesia,” ungkap Agus.   

Prestasi terkini dari dunia akademik ditorehkan Universitas Indonesia (UI), yang mampu mendominasi publikasi jurnal internasional kategori Quartile (Q) 1 sepanjang tahun 2023 di Indonesia. Jurnal Q1 merupakan jurnal internasional terindeks Scopus yang memiliki pengaruh paling besar di antara tiga kategori jurnal yang lain, yaitu Q2, Q3 dan Q4.  

Direktur Riset dan Pengembangan UI Munawar Khalil, S.Si., M.Eng.Sc., Ph.D. mengatakan publikasi UI berpengaruh penting terhadap pemeringkatan internasional karena jumlah sitasi jurnal ilmiah menjadi salah satu kriteria pemeringkatan perguruan tinggi.  

Per 29 Desember 2023, persentasi publikasi UI di jurnal Q1 mencapai 34,9 persen, meningkat signifikan dari 29,3 persen pada 2022, ungkap data dari SciVal, sebuah platform analisis yang dikembangkan Elsevier untuk membantu peningkatan kualitas dan efisiensi penelitian di institusi penelitian dan organisasi.  

Selama lima tahun terakhir, publikasi UI didominasi oleh jurnal Q3, SciVal mencatat. 

Munawar mengatakan jurnal Q1 cenderung mendapatkan lebih banyak sitasi karena masyarakat percaya jurnal yang bagus pasti mempublikasikan karya-karya ilmiah yang berkualitas.  

“Kami berharap di tahun 2024, publikasi UI di jurnal Q1 bisa berada di atas 50 persen,” ungkap Munawar dalam keterangan pers tanggal 7 Januari 2024, sebagaimana dikutip Antara

Komitmen penguatan kualitas publikasi para peneliti Indonesia sebagaimana disampaikan Badan Riset dan Pengembangan UI tersebut tentu saja perlu mendapat dukungan kuat berbagai institusi terkait. 

Sebab secara umum, kualitas publikasi ilmiah para peneliti Indonesia pada faktanya masih belum mampu bersaing dengan sejawat mereka dari negara-negara tetangga, termasuk Singapura. 

Data SciVal menyebutkan, publikasi jurnal kategori Q1 yang dihasilkan Singapura dalam 10 tahun terakhir mencapai 67,38 persen sehingga menduduki peringkat teratas negara-negara ASEAN dengan proporsi publikasi terbaik.  

Sementara pada 2021, hampir separuh publikasi Indonesia muncul di jurnal kategori Q4 dan hal itu terjadi karena publikasi berwujud tidak lebih dari sekedar laporan atau catatan (proceedings) seminar.  

Yang lebih memprihatinkan, banyak peneliti dan akademisi Indonesia yang dilaporkan mempublikasikan karya di penerbit predator (predatory publishers) dan jurnal-jurnal yang meragukan (questionable journals).  

Handrini barangkali termasuk segelintir dari para peneliti Indonesia yang berupaya menjaga kualitas publikasi dan tidak terobsesi pada kuantitas penerbitan jurnal.  

Ia menyebutkan sebenarnya ada sejumlah ciri yang bisa menjadi penanda (red flags) apakah sebuah publikasi bisa dikategorikan predatory atau questionable journals. Namun, seringkali ciri-ciri itu mudah tersamarkan karena jurnal ataupun penerbit tersebut bekerjasama dengan predatory conferences yang bertujuan memikat para akademisi yang tengah mencari pengakuan ilmiah. 

“Saya pernah menemukan jurnal semacam itu ketika mengikuti konferensi di Malaysia. Panitia konferensi bekerjasama dengan Turkish journal tersebut. Saya cek di SCImago dan Scopus, jurnal ini berada di Q3. Di perjalanan saya pelan-pelan mulai curiga karena nama-nama author di jurnal ini kebanyakan orang India dan Indonesia,” ujar Handrini.  

“Mereka terus-menerus meminta saya merevisi artikel berikut pembayaran article processing charge [APC]-nya. Saya terus menunda-nunda pembayaran, apalagi harus memakai PayPal. Saya bilang ke mereka, ‘Oh saya tidak punya PayPal.’ Setelah enam bulan akhirnya kecurigaan saya terbukti, jurnal tersebut discontinued meskipun awalnya ada di Scopus,” tutur doktor ilmu komunikasi lulusan UI tersebut. 

Pengalaman tersebut membuat Handrini kian gencar mewaspadai jurnal yang tidak menerapkan standar etika dan praktik publikasi ilmiah yang baik.  

Kualitas, dan tidak hanya kuantitas 

Tanpa mengesampingkan arti penting peningkatan jumlah publikasi ilmiah, kalangan peneliti dan akademisi Indonesia perlu menaruh perhatian lebih besar pada peningkatan kualitas jurnal yang dihasilkan.  

Mengingat dampak buruk jurnal dan penerbit predator, satu tanggung paling penting para akademisi dan peneliti sebelum memulai riset dan penulisan adalah memahami etika keilmuan yang harus diikuti karena hal ini bisa menjadi tolok ukur profesionalisme mereka.  

Menurut Handrini, BRIN sebenarnya sudah menyelenggarakan berbagai pelatihan bagi para akademisi dan peneliti tentang bagaimana membangun karya tulis ilmiah, termasuk strategi menyusun hipotesa, menemukan metodologi serta literatur yang tepat, hingga menulis proposal untuk selanjutnya mengembangkan proposal itu menjadi karya ilmiah yang baik.  

Pelatihan diberikan karena tiap jurnal memiliki pembaca yang berbeda, dan penulis publikasi ilmiah juga punya target audiens yang spesifik sifatnya. Untuk itu, peneliti dituntut mampu memilih jurnal yang tepat untuk mempublikasikan karya ilmiah mereka. 

Peneliti Indonesia juga harus bisa mendorong khalayak internasional agar mau membaca artikel yang berbasis data lokal, sehingga mereka dituntut punya kemampuan yang baik untuk menulis dalam Bahasa Inggris. 

Pemberian insentif—termasuk dana riset yang memadai—untuk para peneliti juga jadi faktor yang tidak kalah penting karena kebanyakan jurnal termasuk Elsevier dan Taylor & Francis berbentuk open access, yang memungkinkan semua orang membaca secara gratis. Akibatnya, para peneliti harus menanggung keseluruhan APC (biaya produksi artikel yang akan dipublikasikan) yang tidak murah—bisa lebih dari US$1,600 per artikel.  

Bagi Handrini dan banyak peneliti yang lain, APC salah satu beban terberat publikasi ilmiah karena sebagai salah satu syarat untuk bisa di-review editor saja, artikel harus masuk ke tahapan proofreading terlebih dahulu dengan kisaran biaya mencapai Rp 10 juta ($635.98) sampai Rp 12 juta. Itupun tanpa ada jaminan artikel akan bisa dipublikasikan. 

Setumpuk artikel ilmiah dengan beragam topik, mulai dari penguataan kesetaraan gender, pengelolaan pasar di Papua hingga pemberdayaan mama-mama Papua, kini hanya teronggok di sudut ruang kerja sang peneliti madya BRIN. Tidak ada lagi semangat publikasi karena selalu terbentur satu pertanyaan yang itu-itu saja: APC-nya harus bayar dari mana? 

“Kami dituntut mampu mempublikasikan karya di jurnal bereputasi tinggi tapi tidak diberikan dana riset yang memadai. Mengapa kami harus menanggung biaya sendiri?” kata Handrini. 

Pemandangan indah deretan panjang karya ilmiah anak bangsa di jurnal Q1 tampaknya bakal masih jadi impian belaka tanpa ada kemauan politik pemerintah untuk memberikan insentif bagi para peneliti Indonesia.  

Referensi: 

BRIN: Indonesia di Peringkat 19 Dunia dalam Jumlah Publikasi Ilmiah, tempo.co, Jumat 21 Juni 2024 — https://tekno.tempo.co/read/1882660/brin-indonesia-di-peringkat-19-dunia-dalam-jumlah-publikasi-ilmiah 

Publikasi UI teratas Science and Technology Index Kemendikbudristek, Antara, Kamis 18 Januari 2024 — https://www.antaranews.com/berita/3921246/publikasi-ui-teratas-science-and-technology-index-kemendikbudristek, https://www.ui.ac.id/publikasi-ui-dominasi-jurnal-q1-internasional-sepanjang-2023/ 

Publikasi Ilmiah Penulis Kita, Badri Munir Sukoco,Minggu 12 Februari 2023, detiknews — https://news.detik.com/kolom/d-6562296/publikasi-ilmiah-peneliti-kita 

Elly Burhaini Faizal, S.Sos, MA (Editage Ambassador-Indonesia)
Jurnalis surat kabar harian berbahasa Inggris The Jakarta Post  

Lahir di Semarang, 6 Oktober 1973, Elly merampungkan pendidikan Strata 1 di Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Diponegoro Semarang pada 1997 sebelum menempuh pendidikan Strata 2 dan meraih gelar Master of Arts (MA) dari Ateneo de Manila University di Quezon City, the Philippines, pada 2016.   
Mengawali karir profesional di bidang jurnalistik pada 1998, Elly memfokuskan peliputan di bidang kesehatan dan aktif mengikuti konferensi baik di tingkat nasional maupun global, beberapa diantaranya the International Center for Journalists 2020, Road Safety Reporting Fellowship program di Stockholm, Swedia, dan the inaugural Grand Challenges Media Program, Senegal 2023.